Menikmati Marburg

Posted on August 2, 2011

0



Marburg does not have a university; Marburg is a university!

Oleh Erix Hutasoit

Koran Lokal Jerman, Gießen menyebut kota Marburg sebagai,”… the creative little model city.” Tapi aku lebih suka menamainya: Kota Bersejarah Yang Dikelola Orang Cerdas.

PESAWAT Emirates EK 46 mendarat mulus di Frankfrut, Jerman (Sabtu, 26/2). Musim dingin masih memeluk erat benua Eropa, ketika petugas imigrasi menyetujui izin masukku. Aku kedinginan karena hembusan angin cepat menusuk jaket. Walau sudah berulang kali ke Eropa, tapi aku selalu sulit beradaptasi dengan cuaca.

Di sini kegiatan berlangsung cepat. Aku tidak bisa berleha-leha menikmati arsitektur modren bandara kota terbesar kedua di Jerman itu. Sebuah taxi krem sudah menungguku. Pemberhentian berikutnya adalah Kota Marburg.

Sembilan puluh menit aku dibawa mengarungi jalanan beraspal. Jalan enam jalur itu membentang persis di tengah pekebunan. Rumah “mungil” orang Jerman dengan kaca khas berjejer sepanjang jalan. Pohon dan padang hijau berbaris09099 menyabut siapa saja yang datang ke Jerman.

Sepanjang jalan aku mencari – mencari kincir angin. Saat mengunjungi Jerman tahun lalu, aku menemui kincir angin sepanjang jalan. Kala itu aku melawat kota Biefeled di selatan Jerman.

Setelah lama menanti akhirnya aku menyerah. Kincir angin tidak ada. Rupanya kincir angin tidak berdiri di seluruh Deutcsland.

Dipenghujung perjalanan, sebuah kastil besar di atas bukit, muncul di hadapanku. Seluruh tubuh bukit itu disemaki rumah-rumah tradisional Jerman. Supirku yang berdarah Turki, dengan bangga menyebut nama Kastil itu.

” It’s the Langrave Castle. Welcome to Marburg!”


Luther dan Pendidikan

Kota Marburg bukan cuma kota tua, tetapi tempat penting bagi orang Kristen. Di sinilah Martin Luther menyembunyikan diri setelah menetang Indulgensi gereja Katolik di abad 16. Dalam pelarian, Luther menyempatkan diri menterjemahkan Bible dari bahasa Latin ke bahasa Jerman. Orang Protestan menyebut Luther sebagai bapak reformasi gereja.

Warisan Luther berbekas kuat di bidang pendidikan. Di Marburg berdiri Universitas Protestan tertua di dunia. Universitas itu bernama The University of Marburg, yang akrab dikenal sebagai Philipps-Universität-Marburg. Berdiri Tahun 1527. Nama universitas diambil sebagai penghormatan kepada Philip the Magnanimous, tuan tanah Marburg yang membantu Luther mengembangkan aliran protestan.

Di Jerman ada six classical”university village” yang amat dibanggakan. Philipps-Universität-Marburg bagian dari enam universitas itu. Bersama universitas Freiburg, Göttingen, Heidelberg, Tübingen dan Gießen, Philipps-Universität-Marburg menjadi tonggak kehebatan pendidikan Jerman. Sampai-sampai saat Perang Dunia II, sekutu tidak menjatuhkan bom ke kota Marburg karena menganggap kota itu cuma kota pendidikan.

Tradisional dan Futuristik

Dari pelataran Langrave Castle, Marburg seperti kota dalam film kartun Inggirs: King Artur. Rumah batu dengan cerobong asap, berdiri akur membentuk lorong-lorong kecil. Jendela berkaca bening di kamar yang sempit menjadi ciri khas rumah tradisional Jerman.

Langrave punya cerita khusus di hati orang Marburg. Di tempat itu cerita tentang perempuan Hungaria berhati mulia melegenda. Perempuan itu bernama Elizabeth. Ia adalah putri dari Raja Hungaria.

Saat berusia 12 tahun, Elizabeth dinikahkan secara politik dengan Landgrave Thuringian Ludwig IV. Sejak kecil Elizabeth sudah ditunangkan dengan Ludwing IV. Walau terlahir dari golongan bangsawan, Elizabeth tidak tahan dengan gaya hidup sombong dan mewah. Ia tetap mempraktikan hidup sederhana dan saleh.

Di tahun 1227, Ludwing IV meninggal dunia di Italia. Saat itu Ludwing menjawab panggilan untuk membebaskan Tanah Suci dalam Perang Salib. Elizabeth pun menjadi janda.

Dalam kesendirian, Elizabeth mendapatkan banyak masalah. Kebiasaan hidup sederhana, saleh dan menolong orang, membuat Elizabeth mendapatkan tentangan dari kerabatnya.

Satu ketika, Elizabeth pergi membagikan roti-roti kepada orang miskin yang tinggal di jalanan. Dalam perjalanan pulang, Elizabeth dihadang kerabatnya. Sang Kerabat mempertanyakan isi keranjang yang dibawa Elizabeth. Sang kerabat tidak suka Elizabeth menolong orang miskin. Iapun diminta membuka isi keranjangnya. Elizabeth membuka tutup keranjangnya dan menujukkan bertangkai-tangkai bunga matahari berwarna kuning. Sang kerabata hanya bisa diam, lalu pergi dari hadapan Elizabeth.

Kisah itu menginspirasi orang Marburg. Sejak bunga matahari kuning dilambangkan sebagai kasih dan kebaikan.

Elizabeth tidak berumur panjang. Pada usia ke 24, Elizabeth meninggal dunia. Peristiwa itu terjadi pada 17 November 1231. Ia dikubur di Kapel St. Francis.

Jasa baik Elizabeth rupanya tidak lenyap ditelan kematian. Pada tahun 1235 Paus, raja dan tuan tanah Marburg menyetujui kanonisasi Elizabeth. Sebuah gereja di bangun pada 1235 – 1281 untuk menghormati Elizabeth. Gereja dibangun dengan model Gothic lalu dinamai St. Elizabeth.

Sampai sekarang gereja itu berdiri megah di tengah kota Marburg. Sejarah mencatat Gereja St. Elizabeth sebagai Gereja Gothic tertua di Jerman.

Perjalan tidak selesai di St. Elizabeth. Sebuah lift membawaku memasuki peradapan unik. Di lantai dasar, kita bisa melihat bagunan berasitektur modren. Tetapi di lantai empat, kita akan kembali ke abad pertengahan.

Marburg membagi kotanya menjadi dua bagian. Kota tua terletak di atas bukit, sedangkan kota baru berada di lembah. Tapi pengelola kota tidak memisahkan fungsi kedua kota itu. Kota tua menjadi jantung sekaligus pusat perekonomian Marburg.

Kota tua Marburg mirip kota tua di Eropa timur. Jalanannya tersusun dari bebatuan alam. Lorong-lorong sempit menghubungkan sudut-sudut kota. Angin pegunungan yang berhembus kencang, seolah terjebak dalam rimbunan bangunan tua. Kehidupan terus mengelinding walau hujan dan dingin terus menyerang.

Di sepanjang jalan toko-toko menjajakan ragam dagangan. Lampu kerlap-kerlip menembus etalase merayu pembeli. Di dinding toko yang terbuat dari campuran kapur, semen, jerami dan balok kayu, tertulis riwayat bagunan. Bagunan itu sudah berusia ratusan tahun.
Marburg tak habis ditulis dengan kata-kata. Ribuan mahasiswa membuat kota ini hidup dengan macam kreatifitas. Universitas tak Cuma jadi tempat belajar, tetapi juga tempat sejarah dan wisata. Ketika memenuhi undangan Profesor Whilliem Richebaecher mengujungi Philipps-Universität-Marburg, aku terkesan dengan aula universitas itu. Lukisan di dinding aula, mengambarkan dengan jelas sejarah kota itu. Langit-langit aula dipenuhi ornamen Gothic yang rumit dan indah.

Benar kata orang Marburg. Setiap sudut kota ini menyediakan sejarah dan pengetahuan kepada siapa siapa saja.” Marburg does not have a university; Marburg is a university!”

Aku makin kagum dengan Marburg. Apalagi setelah melihat mahasiswa pirang beraju ketat melintas di depanku. Rasanya tidak ingin berpisah dengan Marburg!

***

Posted in: Environment