Mencari Ruang Hijau di Kota

Posted on August 2, 2011

0



“Kemana saya harus mencari rindangnya pohon dan sejuknya taman jika semua lahan di kota sudah dijadikan bangunan?’

Lelah dengan aktivitas sehari-hari memang bukan hal baru lagi di telinga kita. Sore itu tubuh saya terasa sangat lelah. Sang Surya belum juga pulang ke sangkarnya sore itu. Walaupun cahaya keemasan di ufuk barat sudah memberikan tanda kepulangannya. Ingin rasanya menggerakkan seluruh badan karena seharian penuh hanya duduk di belakang meja dan computer melakukan pekerjaan rutin. Tidak banyak bergerak seharian memberi banyak efek buruk ke tubuh saya. Lalu saya bertanya, dimana tempat yang pas untuk berolahraga yang nyaman dan aman. Saya langsung berpikir ke tempat fitness atau gym.

Istilah “Nge-gym” memang sangat familiar belakangan ini. Istilah menggerakkan anggota tubuh baik dengan gerakan yang diatur ataupun menggunakan alat bantu ini bahkan sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Apalagi bagi sebagian eksekutif di kota besar. Ditelusur lebih dalam, fungsi dan tujuan dari dibangunnya Pusat Kebugaran Tubuh itu adalah memberikan wadah bagi manusia untuk berolahraga dengan atau tanpa alat, yang didesain khusus untuk masing-masing kebugaran organ tubuh manusia.

Mengapa fenomena pergi ke tempat fitness menjadi sangat trend dewasa ini. Alasan yang paling mendasar adalah setiap manusia menjadikan olahraga sebagai kebutuhan masing-masing individu. Berbagai jenis penelitian menunjukkan bahwa olahraga masih menjadi obat mujarab tanpa resiko untuk menjaga kesehatan ataupun menyembuhkan berbagai penyakit.

Pada tahun 1990-an, saya masih sering melihat lapangan hijau penuh dengan masyarakat berolahraga. Lari, berjalan santai, bermain bola, anak –anak bercengkrama dengan teman-temannya bahkan keluarga piknik sambil makan siang bersama keluarga. Lapangan hijau masih menjadi prasarana untuk berinteraksi manusia satu dengan yang lainnya. Hampir setiap 500m2 perumahan masih dijumpai lapangan atau taman bermain yang menjadi tempat berkumpul kamu muda dan tua.

Semakin derasnya pembangunan di kota, bertumbuh jugalah bangunan bak jangkrik berseru sehabis hujan. Lapangan yang tadinya berisi rumput hijau dan taman bermain begitu indah berubah menjadi apartemen mewah dan condominium. Lengkap dengan fasilitas kolam renang dan mall mewah. Seketika itu juga mata terpana dengan kecanggihan tekonologi dan mewahnya fasilitas yang diberikan. Sesaat manusia terlupakan dengan indahnya bercengkrama di taman bermain atau berolahraga di lapangan luas. Bagaimana tidak, apartemen cantik itu sudah memberikan fasilitas fitness lengkap dengan alat olahraga yang modern dan berkelas. Berolahraga dengan alat fitness canggih itu tentu saja sudah mendongkrak gaya hidup bagi sosialita kota.
Lalu apa kabarnya dengan Lapangan atau Taman Kota kita yang sering disebut Ruang Terbuka Hijau bagi pengamat perkotaan saat ini? Peraturan yang sudah disusun sedemikian bijak seperti Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan menyebutkan bahwa Standar luas Ruang Terbuka di sebuah Kota adalah 30% dari luasan masing-masing kota. Dengan rincian yaitu 20 % diperuntukkan untuk Ruang Terbuka Hijau Publik dan 10% Ruang Terbuka Hijau Privat. Dalam Peraturan buku hijau tersebut mencantumkan juga bahwa Ruang Terbuka merupakan ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan.

Seperti manusia, Ruang Terbuka Hijau juga memiliki keturunan berdasarkan fisik, fungsi, struktur dan kepemilikan. Berdasarkan fisik nya RTH memiliki keturunan menjadi RTH Alami dan Non Alami. Berdasarkan fungsinya, biduan tersebut berbuah menjadi RTH sebagai ekologis, sebagai social budaya, sebagai estetika dan sebagai ekonomi. Peranakan ketiga, RTH dikategorikan secara struktur dan menghasilkan beberapa bentukan seperti Pola Ekologis dan Pola Planologis. Dan secara kepemilikan, RTH dikategorikan menjadi RTH milik pribadi dan RTH milik public.

Tentu kita bisa membedakan antara RTH milik pribadi dan milik public. Untuk ¬¬¬¬¬RTH milik pribadi dikategorikan seperti Pekarangan rumah tinggal, pekarangan kantor atau Taman pada atap Bangunan yang sedang naik daun belakangan ini. Sedangkan RTH milik public dapat dilihat pada Taman Kecamatan atau Kelurahan, Taman Kota yang sudah jarang kita jumpai, Jalur Hijau pada sepanjang sungai, dan masih banyak lagi RTH yang tujuannya diperuntukkan bagi khalayak ramai.

Dilihat dari fungsinya, RTH itu sendiri secara ekologis yaitu sebagai system sirkulasi udara atau sebagai paru-paru kota, juga sebagai pengatur iklim mikro agar system sirkulasi udara dan air secara alami (Permen PU No. 05/PRT/M/08). Fungsi lainnya juga sebagai peneduh, produksi oksigen, penyerap air hujan, penyerap polutan media udara, air dan tanah serta sebagai penahan angin. Secara social, ternyata RTH juga berfungsi sebagai penggambaran ekspresi budaya local , media komunikasi warga kota dan sebagai tempat rekreasi.
Lantas bagaimana dengan keadaan di lapangan? Apakah RTH yang ada di kota kita masing-masing sudah bisa melayani kita sebagai peneduh atau pengatur iklim sebagai pengatur sirkulasi udara? Atau apakah RTH yang ada di sekeliling kita sudah bisa memberikan fasilitas sebagai media komunikasi dan tempat rekreasi seperti sebagaimana fungsi dari RTH itu sendiri.

Beberapa tempat yang sudah saya survey di Kota Medan dan cukup menjadi referensi bagi kita yang ingin benar-benar merasakan fungsi dari RTH itu sendiri. Kita dapat temukan di Lapangan Merdeka di pusat Kota Medan, Taman Kota Sudirman, Stadion Teladan di Jl. Sisimangarja, Stadion Unimed yang sering dijadikan sarana olahraga mahasiswa, Lapangan Gajah Mada. Di Jakarta dapat ditemukan di Senayan, Lapangan Monas. Di Kota Yogyakrta dapat ditemui di Alun-alun Selatan Malioboro, Taman Pintar Mangkubumi, Lapangan Graha Sabha Pramana UGM. Di Kota Banda Aceh dapat ditemui di Taman Sari, Lapangan depan Museum Tsunami, dll. Atau mungkin masih banyak beberapa tempat lain di masing-masing kota yang masih menawarkan peneduh dan sarana rekreasi di pusat kota serta masih menjadi pengatur iklim di setiap kota.

Keberadaan RTH di masing-masing wilayah juga dapat diukur kadarnya yang disesuaikan dengan masing-masing fungsi dan tolak ukurnya. Beberapa peneliti di Universitas Parahyangan menyebutkan bahwa RTH juga dapat menurunkan tingkat pencemaran udara yang dilihat dari Kadar Pencemaran seperti CO, Pb, debu, dll. Juga dapat menurunkan tingkat stress masyarakat dengan tolak ukur dari jumlah penderita penyakit kejiwaan. Secara ekonomi, RTH juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang diukur dari meningkatnya pendapatan masyarakat dan jumlah kunjungan wisatawan.

Beberapa Action Plan sudah disusun oleh Pemerintah untuk memarakkan kembali RTH di masing-masing kota. Namun tidak dapat dipungkiri, pembangunan di lapangan selalu marak seperti jamur di musim hujan. Isu yang sedang berkembang yaitu Revitalisasi Desa ke Kota berakibat ke berkurangnya lahan hijau di pedesaan yang tadinya menyumbang suplai oksigen ke kota. Ijin Pembangunan di Perkotaan juga tidak terlepas dari genggaman Pemerintah.

Untuk Ijin Mendirikan Bangunan tidak terlepas dari Acuan Rencana Kota yang disusun setiap 20 tahun sekali untuk kategori Wilayah Perkotaan. Seringkali, jangka waktu 20 tahun itu sudah tidak efektif jika dikembalikan dengan keadaan di lapangan. Bandingkan saja, keadaan kota kita masing-masing pada masa sekarang dan 20 tahun yang lalu. Kota Medan memiliki Rencana Sub-sub Wilayah dengan masing-masing peruntukan seperti Perumahan, Daerah Industri, Pertokoan dan Jalur Hijau serta Taman yang mengacu pada Rencana yang disahkan tahun 1979. Dibandingkan dengan keadaan sekarang, Rencana itu sudah seperti kertas lapuk yang harus diganti keseluruhan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Perubahan Peruntukan dari Jalur Hijau ke Perumahan atau Pertokoan juga tidak terelakkan lagi. Birokrasi yang terlalu berbelit-belit memberikan kesempatan kepada penyelusup untuk menyalahi aturan rencana yang sudah disusun matang dan akhirnya disusul oleh penyelusup yang lain secara berurutan.

Lantas, kalau sudah begini tidak tahu juga siapa yang mau di salahkan? Saya sendiri jadi bingung kemana hendak bertanya dan mengadu. Niat untuk berkeliling mencari udara segar sembari berolahraga terurung sudah. Lokasi Ruang Terbuka Hijau yang ada di Pusat Kota mengecilkankan niat saya untuk menghirup udara segar. Polusi yang semakin bertambah dan jauhnya lokasi yang ditempuh juga macetnya perjalanan menuju pusat kota, langsung terngiang dikepala saya dan akhirnya hanya kembali diam dan merenung melihat nasib kota selanjutnya. ***

Posted in: Environment